Minggu, 10 April 2016

Ojek Payung

Aku, kamu, dia, dan kita adalah sama juga pelaku kehidupan! Dengan nafas yang sama, darah yang sama merah dan tulang yang sama putih.

Hanya saja, saat ini mataku tersita oleh pemandangan itu. Si kecil yang menatap penuh harap ke arah payungnya yang berwarna-warni. Mungkin, ia menemukan seribu semangat dalam tujuh warna pelangi itu. Ya, kupikir begitu. Kakinya terlihat mungil tanpa alas, dan sesekali bergerak-gerak sendiri tanda ia kedinginan. Saat itu jarakku hanya berapa langkah menuju angkot dan hujan tidak begitu lebat lagi.



Eh, ternyata ia tahu kalau aku memperhatikannya. Lalu dengan segera ia mendekatiku.
"kak, ojek payungnya kak?"
masih tertegun kupandangi ia, cukup lama, sampai ia berkata lagi..."kak, ojek payung?" kali ini senyumnya tampak begitu tulus.
Dan tanpa kata aku mengangguk pelan.
Sesampainya di angkot, kuberi beberapa rupiah padanya, dan kali ini senyumnya tampak lebih sumringah ( baca = girang sekali ) lagi.
"terimakasih kak" katanya seraya berlalu pergi.


Hujan di sore hari yang indah, di Stasiun Bekasi ini, aku belajar satu hal lagi, bahwa ketulusan itu tidak selamanya hanya dimiliki orang dewasa saja, tapi mereka, si kecil dengan ojek payungnya juga memilikinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar